Postingan

Memang Demikian Harusnya

Apakah menyusun kalimat harus dengan perasaan?  Tidak tahu.  Bilamana kata-kata yang tengah disusun adalah untuk diberikan kepada pembaca yang budiman, boleh jadi jawabannya ialah memang. Segenap daya upaya dikerahkan guna meyusun kalimat menjadi kerangka wacana yang menyampaikan pemikiran, atau berita pemberitahu keadaan, atau juga puisi penyentuh hati. Namun, adakah yang peduli? Tidak tahu. Barangkali, tidak ada.  Bilamana kata-kata yang tengah disusun adalah untuk dirimu sendiri, boleh jadi jawabannya ialah harus. Menerka-nerka apa yang ingin ditulis. Mengingat kembali kebohongan, sebelum berupaya membentuknya jadi kalimat pengungkap segala. Secara saksama menduga adakah kejujuran perlu terujar? Dengan resiko luluh lantak kausalitas yang melingkunginya?   Tidak tahu. Barangkali, tidak ada. Memang demikian harusnya.     Bilamana kata-kata yang tengah disusun adalah untuk kalimat itu sendiri, boleh jadi jawabannya ialah demikian. Tidak menganggapnya sebagai keperluan untuk mendaftar s

Untuk Perempuan yang Sedemikian Lihai Bermain Peran*

Selain studi yang selesai, boleh jadi pandemi juga membuat panggung kita jadi kosong. Adu gagasan merumuskan sajian, persiapan panjang produksi pertunjukan, polemik internal yang begitu-begitu melulu, kini kian langka. Belum lagi tatap muka yang berubah jadi kata dan tanda tanya: kapan? Kita hanyalah pelakon amatir, dan semakin amatir, cerita yang ingin dipentaskan kerap gagal merumuskan kenyataan.  Barangkali juga kita kangen. Menikmati diri yang senewen ketika setengah jam menuju pertunjukan, mendengar sayup-sayup langkah kaki penonton berjejalan di telinga: menunggu gong ketiga berbunyi memulai sandiwara. Lalu kemudian mengelola prolog sedemikian cergasnya agar impresi terbaik dapat kena ke ratusan pasang mata, mengaduk-aduk emosi dan berharap lawan main kita juga turut, dan berusaha menyelesaikan cerita dengan teramat apik.  Di antara bermacam peristiwa yang dialami kala itu, kita tidak gentar karena sering latihan. Kalau memang sekiranya kita sangat menginginkan lagi bermain peran

Alur Perjalanan Seorang Tukang Roti Keliling

Ia baru saja turun dari motor, memesan segelas kopi, kemudian duduk di sebelahku. Dagangannya hampir habis. Beberapa roti masih berjejer di etalase yang nangkring di jok belakang motornya. Memang cukup lezat. Apalagi jika memakannya pada sore hari. Aku dan Ibu kadang beli ketika ingin ngemil dan di rumah sedang tidak ada apa-apa. Ini bukan roti yang biasa dijual di swalayan atau supermarket. Bukan juga roti yang sering memasang iklannya di televisi. Ini roti hasil industri rumahan di kelurahan kami. Banyak terigu dijual murah dari sisa produksi pabrik. Oleh warga, bahan tersebut diolah kembali menjadi roti beraneka rasa yang jadi ciri khas kelurahan kami. Produknya sudah terkenal dari satu kelurahan ke kelurahan lain, bahkan kota lain. Tidak heran jika nama kelurahan kami adalah Kampung Roti.  Ibu bilang, itu berawal dari 30 tahun yang lalu, ketika aku belum lahir. Tidak ada penjelasan lebih lanjut. Kadang ketika memikirkannya aku merasa aneh, kota tempatku tinggal dapat dibilang sudah

Dari Hotel Tua ke Bangkai Pabrik di Pinggir Kota

Uraian ini saya tulis pascamenonton Doctor Sleep dan The Shining pada akhir 2019. Sayang sekali kalau hanya didiamkan di folder pribadi. Sesekali atau seringkali, kisah horror akan membantu kita membaca situasi yang sedang kita alami. Silakan dinikmati. Nama penginapan itu adalah The Stanley Hotel, letaknya di Colorado, Amerika Serikat. Memiliki 142 kamar, pemandangan indah danau Estes dan pegunungan Rocky. Bangunannya dirancang oleh Freelan Oscar Stanley, dibuka secara resmi pada 4 Juli, 110 tahun yang lalu. Saya mendapat semua keterangan di atas dan beberapa keterangan lain dalam tulisan ini tentu saja dari Wikipedia, ketika ingin tahu bagaimana Stephen King mengkonstruksi kengerian The Grand Overlook Hotel dalam film Doctor Sleep yang sedang tayang di bioskop.   Sebelum mampir ke Wikipedia, saya sempatkan dulu menonton The Shining, sekuel dari Doctor Sleep. Dua film ini merupakan adaptasi dari novel karya Stephen King dengan judul yang sama. Bedanya, The Shining populer pada 1977

20220102

Untuk Ryn Kita tidak pernah tahu kenangan, yang baik  maupun yang buruk,  dominan muncul di ingatan.  Bilamana kosakataku  sedang tidak nyaman diterima : kesalahanmu sedang lalu lalang.  Jangan paksa dayaku memperbaikinya.  Cukuplah ia tidak terpelihara. 

Pintu Itu Tertutup Setelah Kita Melewati Persimpangan yang Sama

Gambar
Ketika mengetahui bahwa Teater Pagupon membuka pintu selebar-lebarnya bagi mereka yang percaya pada kebebasan berkreasi, saya berikrar: kelak, akan mencoba jadi sutradara di sana. Setelah melewati beberapa etape, kesempatan itu datang. Apa yang dipilih dengan segala pertimbangan ternyata menghasilkan banyak konsekuensi, yang akhirnya tetap berujung pada satu hal: pementasan. Berkali-kali saya jatuh cinta pada berbagai naskah, akhirnya pilihan jatuh pada Pintu Tertutup -nya Sartre. Secara sederhana, Pintu Tertutup berkisah soal jalinan cinta segitiga antara Estelle, Garcin, dan Inez. Akan tetapi, jika melihat naskah tersebut melalui sudut pandang kepengarangan, kita akan melihat bagaimana pemikiran Sartre hadir di sana (saya pernah sedikit membahas ini di sini ). Dalam pada itu, kita tidak boleh melupakan bagaimana eksistensialisme hadir dalam Pintu Tertutup . Bagaimana masing-masing tokoh melakukan apa yang mereka inginkan, tentu dengan mempertanggungjawabkan seg

Merawat Kemanusiaan Bersama Dedes

Jika memang kerja teater adalah merawat kemanusiaan, Teater Pagupon menyuguhkannya dalam Dedes karya Catur Ari Wibowo (Ketjak) yang dipentaskan di Graha Bhakti Budaya, semalam. Pementasan itu sekaligus merayakan produksi Teater Pagupon yang genap mencapai angka 100. Tak tanggung-tanggung, teman-teman dari Teater Pagupon menggandeng Reda Gaudiamo dan Payung Teduh untuk turut menyemarakkan perayaan tersebut. Menarik, mengingat Teater Pagupon sering mengandalkan unsur musik dan lagu dalam berbagai pementasannya. Dedes merupakan adaptasi bebas dari cerita karangan S. H. Mintardja yang berjudul Pelangi di Langit Singasari, begitu katanya. Secara garis besar, Dedes menceritakan tahap awal kehidupan tokoh Ken Dedes, jauh sebelum perseteruan antara Ken Arok dengan Tunggul Ametung – yang kelak melahirkan kerajaan Singasari dan menjadikan Ken Dedes sebagai tokoh agung dengan julukan ‘Ibu Raja-Raja Jawa’. Sebuah keberanian, saya kira, mengingat pengarang drama lainnya lebih memilih meny