Untuk Perempuan yang Sedemikian Lihai Bermain Peran*

Selain studi yang selesai, boleh jadi pandemi juga membuat panggung kita jadi kosong. Adu gagasan merumuskan sajian, persiapan panjang produksi pertunjukan, polemik internal yang begitu-begitu melulu, kini kian langka. Belum lagi tatap muka yang berubah jadi kata dan tanda tanya: kapan? Kita hanyalah pelakon amatir, dan semakin amatir, cerita yang ingin dipentaskan kerap gagal merumuskan kenyataan. 

Barangkali juga kita kangen. Menikmati diri yang senewen ketika setengah jam menuju pertunjukan, mendengar sayup-sayup langkah kaki penonton berjejalan di telinga: menunggu gong ketiga berbunyi memulai sandiwara. Lalu kemudian mengelola prolog sedemikian cergasnya agar impresi terbaik dapat kena ke ratusan pasang mata, mengaduk-aduk emosi dan berharap lawan main kita juga turut, dan berusaha menyelesaikan cerita dengan teramat apik. 

Di antara bermacam peristiwa yang dialami kala itu, kita tidak gentar karena sering latihan. Kalau memang sekiranya kita sangat menginginkan lagi bermain peran, semoga bukan di keseharian.  

*Judul ini menyadur dari tajuk perhelatan 100 hari kepergian Gunawan Maryanto yang diadakan Teater Garasi. 

Komentar