Merawat Kemanusiaan Bersama Dedes

Jika memang kerja teater adalah merawat kemanusiaan, Teater Pagupon menyuguhkannya dalam Dedes karya Catur Ari Wibowo (Ketjak) yang dipentaskan di Graha Bhakti Budaya, semalam. Pementasan itu sekaligus merayakan produksi Teater Pagupon yang genap mencapai angka 100. Tak tanggung-tanggung, teman-teman dari Teater Pagupon menggandeng Reda Gaudiamo dan Payung Teduh untuk turut menyemarakkan perayaan tersebut. Menarik, mengingat Teater Pagupon sering mengandalkan unsur musik dan lagu dalam berbagai pementasannya.

Dedes merupakan adaptasi bebas dari cerita karangan S. H. Mintardja yang berjudul Pelangi di Langit Singasari, begitu katanya. Secara garis besar, Dedes menceritakan tahap awal kehidupan tokoh Ken Dedes, jauh sebelum perseteruan antara Ken Arok dengan Tunggul Ametung – yang kelak melahirkan kerajaan Singasari dan menjadikan Ken Dedes sebagai tokoh agung dengan julukan ‘Ibu Raja-Raja Jawa’. Sebuah keberanian, saya kira, mengingat pengarang drama lainnya lebih memilih menyajikan tokoh Ken Dedes sebagai bagian integral dari tokoh Ken Arok dan kerajaan Singasari. Mohammad Yamin misalnya, berbicara mengenai Ken Arok dan Ken Dedes yang rela mati demi penyatuan kerajaan Daha dan Jenggala dalam Ken Angrok dan Ken Dedes (1934). Lain lagi dengan Saini KM, dalam Ken Arok (1987) Ia bercerita panjang lebar tentang kisah hidup Ken Arok dari awal kebejatannya; pertobatannya; pengabdian dan pemberontakannya pada Tunggul Ametung; menikahi Dedes; kejayaannya bersama Singasari, dan kehancurannya oleh Anusapati, anak tirinya sendiri. Dedes oleh Teater Pagupon adalah keberanian: menawarkan narasi baru berupa biografi singkat masa muda Ken Dedes, yang diceritakan dalam 3 jam!  

Bukan kebetulan sepertinya, ketika menyaksikan tokoh Dedes diperankan oleh Dedep (Ani Syahara). Selain karena kedua nama tersebut seperti pasangan minimal, Dedep merupakan salah satu aktor kawakan di Teater Pagupon. Dedes yang diperankannya itu memberikan gambaran tentang semangat perempuan dalam melawan budaya patriarki. Solilokui dalam adegan pembuka mengenai dirinya menjadi semacam penegasan tentang kepatuhan pada adat dan orangtua, tetapi tidak menutup hasratnya untuk melawan ketidakadilan: untuk hidup sebagai dirinya sendiri. Sementara itu, beberapa adegan romantis berhasil dibawakan dengan renyah dan menjadi bahan komedi yang ditertawakan penonton. Kendati tidak terlalu banyak mengalami perubahan watak dalam cerita, Dedes yang diperankannya cukup hidup dan menghibur.

Pemunculan tokoh-tokoh lainnya seperti tertutupi oleh narasi besar Dedes sehingga hanya sedikit yang memberikan kesan representatif. Mpu Purwa si pemuja tata krama seakan menutup mata terhadap penderitaan orang-orang di sekitarnya; Kuda Sempana yang mengagungkan keagungan sehingga tidak tahu apa akibat yang disebabkannya; Orang-orang Panawijen yang terlalu percaya akan kedatangan juru selamat dan begitu menikmati kepercayaan mereka; kesepian tokoh Ken Arok yang tidak digarap apik, barangkali untuk tidak memberikan harapan kepada penonton bahwa dalam cerita ini tokoh itu tidak berperan banyak. Lumayan menarik ketika melihat tokoh Tunggul Ametung sebagai representasi kekuasaan, pembawaannya yang cenderung ugal-ugalan tetapi bijaksana ketika mengambil keputusan seakan memberikan pemahaman bahwa masa feodal masih cukup layak untuk dijadikan kenangan.

Secara teknis pementasan, Dedes gila-gilaan dalam menyajikan musik dan lagu. Teater Pagupon masih belum menemukan bentuk lain dalam mengedepankan unsur pertunjukkan. Kesan Teater yang seharusnya menggambarkan tiruan kehidupan seakan kalah oleh unsur musik dan lagu, ditambah lagi ada layar yang selalu turun menutup panggung setiap ada nyanyian melantun. Hal ini mengganggu ketika berusaha mengikuti alur cerita, setiap panggung kembali terbuka, saya sempat berharap akan muncul fragmen-fragmen baru yang membuat cerita lebih berwarna atau setidaknya tata panggung yang berubah, ternyata cerita berikutnya masih berkelindan dengan sebelumnya, tata panggung pun tidak berubah banyak. Sementara itu, penataan cahaya cukup rapi dilakukan. Sayangnya, terlalu kasar ketika melakukan penggantian adegan. Warna lampu yang awalnya memanjakan visual menjadi menyakitkan mata ketika berlangsung pergantian suasana. Dalam hal tarian, Koreografi penari sebenarnya memberikan penuansaan ketika adegan berlangsung. Liukan tubuh dan gerakan tangan tertata rapi dan seragam. Hasil dari latihan yang keras, barangkali. Sayang, keindahan tarian tidak ditempatkan di bagian panggung yang pas, sehingga berkesan tidak terintegrasi dengan adegan. Untuk bagian busana, para pemain berhasil menggambarkan kostum suasana kerajaan. Soal rias, saya tidak tahu apa-apa karena menonton mereka dari kejauhan di bangku paling murah: balkon.

Saya memahami Dedes sebagai kisah romantis dari masa delapan ratus tahun yang lalu. Cerita memiliki konteks realis jika mengingat unsur sejarah. Sayang sekali tata panggung yang disajikan menuntut penonton untuk berimajinasi lebih. Level-level yang tertutup kain putih dan hitam ditumpuk di panggung, baik di bagian kanan maupun kiri. Ilalang berserakan di sekitarnya. Beberapa tanaman ditata di belakang tumpukan level tersebut. Tata panggung itu kadang menjadi pondokan, alam pedesaan, bendungan, istana kerajaan, atau padang rumput. Sebuah cerita realis yang dipentaskan dengan panggung surealis.

Dedes adalah perayaan yang melantunkan kembali semangat Pujangga Baru untuk tetap didengar oleh generasi milenial. Latar kerajaan di masa silam mengingatkan kita bahwa gaya demikian pernah semarak menjadi semangat penulisan karya sastra Indonesia, khususnya drama, pada masa kolonial. Ditambah lagi unsur romantis yang mendominasi cerita maupun diksi dalam dialog Dedes, jika para pengarang masa Pujangga Baru mengedepankan semangat romantis dalam karya mereka sebagai bentuk penyalur rasa tertekan dari represi pemerintah kolonial, entah tekanan apa yang dialami Ketjak hingga melahirkan Dedes. Seperti apa yang diutarakannya, “pementasan ini memang berjudul Dedes dan tidak hanya berbicara tentang Dedes, tetapi tentang banyak hal,” memang begitulah adanya.

Tidak perlu kiranya kita mencari terlalu jauh hal-hal kontekstual apa saja dalam Dedes; bagaimana representasi yang diwakili tokoh-tokohnya; kritik apa yang ingin disampaikan Ketjak dalam karyanya, masih banyak hal di pementasan itu. Alunan para pemusik yang berkolaborasi dengan Payung Teduh, nyanyian merdu dari para penyanyi Teater Pagupon ditambah syahdunya suara Reda Gaudiamo berhasil melahirkan suasana kontemplatif yang terlalu sayang untuk dilewatkan. Demikian pula kolaborasi yang dilakukan para aktor, tidak sedikit dari aktor-aktor itu yang sudah sekian tahun melintang di panggung pertunjukkan, tidak sedikit juga yang baru belajar, bahkan yang baru pertama kali menginjak panggung teater: sebuah proses belajar yang semoga tetap terjaga. Ditambah dengan tim manajerial yang ramah menyapa sebelum masuk gedung dan mengantarkan kita hingga duduk manis di bangku penonton, kru panggung yang setia membersihkan sisa-sisa pertunjukkan, wajah-wajah riang yang bertemu teman-teman lama, juga sumringahnya Mas Yoesoev menyaksikan semangat yang terus dijaganya telah menular kepada banyak orang dan mewarnai kehidupan Teater Pagupon. Selamat!    

Jakarta, 10 Maret 2018.

Komentar