Ibu Para Senja
“Bunda…” Sebilur perih memaksaku mengadukan bagaimana pertandingan tadi siang yang tidak bisa kumenangkan. Kuhampiri Bunda di halaman belakang. Seperti biasa, beliau sedang memberi makan ikan di kolam peninggalan ayah. “Bunda, aku kalah.” Tak tahu berapa banyak ikan yang berenang mengerubuti butiranbutiran empan yang bunda tebarkan. Meskipun setiap hari empan dibuang kesana, air di kolam itu tak pernah menjadi keruh. Demikian pula ikan di dalamnya, tetap berenang berkeliling, belum ada yang tibatiba mati mengambang. Bunda juga tidak pernah bosan meninggalkan sejenak kesibukannya untuk duduk mencemplungkan kakinya sembari menebarkan empan kesukaan para ikan. Aku duduk di samping Bunda, tak ada gerak lanjutan yang lahir dari hal yang kulakukan barusan. Sepasang kakiku tanpa perintah ikut nyemplung ke dalam kolam. Dan ikan pun ikut berebut mengerbungi sepasang kaki yang baru saja masuk ke wilayah teritorial mereka, seakan memohon untuk ikut dikelitiki sebagaimana sepasa