Pintu Itu Tertutup Setelah Kita Melewati Persimpangan yang Sama
Ketika mengetahui bahwa Teater Pagupon membuka pintu
selebar-lebarnya bagi mereka yang percaya pada kebebasan berkreasi, saya
berikrar: kelak, akan mencoba jadi sutradara di sana. Setelah melewati beberapa
etape, kesempatan itu datang. Apa yang dipilih dengan segala pertimbangan
ternyata menghasilkan banyak konsekuensi, yang akhirnya tetap berujung pada
satu hal: pementasan.
Berkali-kali saya jatuh cinta pada berbagai naskah, akhirnya
pilihan jatuh pada Pintu Tertutup-nya
Sartre. Secara sederhana, Pintu Tertutup berkisah
soal jalinan cinta segitiga antara Estelle, Garcin, dan Inez. Akan tetapi, jika
melihat naskah tersebut melalui sudut pandang kepengarangan, kita akan melihat
bagaimana pemikiran Sartre hadir di sana (saya pernah sedikit membahas ini di
sini). Dalam pada itu, kita tidak boleh melupakan bagaimana eksistensialisme hadir dalam
Pintu Tertutup. Bagaimana
masing-masing tokoh melakukan apa yang mereka inginkan, tentu dengan mempertanggungjawabkan
segala konsekuensinya. Pintu Tertutup menjadi
metafora yang digunakan Sartre untuk menyampaikan satu hal paling utama dalam
ajarannya, yakni pentingnya keinginan manusia, atau dalam kata lain: niat.
Hal Ini penting ketika mengingat bagaimana teman-teman saya
di Teater Pagupon merasa ragu dalam memproduksi sebuah pementasan. Bagi saya,
keraguan itu menjadi sesuatu yang lucu karena kami sangat akrab dengan naskah
drama di ruang kelas. Mengapa perlu ragu dengan sesuatu yang akrab dengan kita?
Kita tahu, pementasan menyimpan banyak misteri teknis yang kerumitannya
mengintimidasi. Walau begitu, saya memilih untuk memahami bahwa menjadi bagian
dari sebuah tim produksi pementasan merupakan kesempatan yang nyatanya biasa
saja dan ternyata luar biasa. Kita akan memilih akan berkreasi seperti apa,
merundingkannya, menentukan tenggat waktu, mengejar target, dan menyiapkan
semua itu sebaik mungkin guna menunjang pementasan. Berbagai hal biasa yang
sering dilakukan oleh kelompok mana pun. Luar biasanya adalah ketika kesempatan
berkreasi terbuka lebar di sana, kita mencari ide yang terbaik dan membuatnya
menjadi sesuatu yang konkret.
Dengan tekad itulah saya berani memproduksi pementasan Pintu Tertutup. Perlahan-lahan banyak
orang bersedia melibatkan dirinya di sana. Situasi tersebut tidak bisa
dilepaskan dari bersedianya Pire untuk memimpin produksi dan mengolah tim
manajerial, pembawaannya yang supel dan tegas membuat tim kami semakin
bertambah dan berkembang. Tim manajerial mulai terbentuk dan mengetahui
pekerjaannya; Noval sebagai manajer panggung perlahan berani menyusun rencana;
Nadine, Opung, Syifa, dan Wildan mulai bisa mendalami karakter tokoh yang
diperankannya; Kawkab sudah berani membuat lirik lagu dan terus melatih timnya.
Apa-apa yang terjadi saat itu berjalan sesuai dengan rencana.
Satu hal lain yang mendukung progresivitas tim produksi kami
adalah produksi pementasan Di Persimpangan
yang Sama. Produksi pementasan itu menjadi semacam pemanasan dalam mengolah
kreativitas di Pintu Tertutup. Tidak
sedikit anggota tim produksi kami berkecimpung di sana, termasuk saya. Dalam
produksi pementasan Di Persimpangan yang
Sama, kami seperti kurang puas terhadap apa yang sudah dikerjakan. Saya
sendiri merasa dahaga itu akan terguyur dalam Pintu Tertutup itu.
Sayangnya, harapan itu hanya menjadi asumsi setelah Di Persimpangan yang Sama selesai. Kisah
absurd di cerita tersebut seakan keluar menjangkit anggota tim produksi kami:
Pire menjadi aktor di kontingen teater FIB untuk UI Art War, Nadine dan Opung
menjadi sutradara di kelas Pengkajian Drama, Syifa mengadakan pertunjukan
bersama Teater UI di perhelatan Bedah Kampus, Wildan menjadi aktor di
Pementasan Ketoprak Dosen dan Karyawan, belum lagi banyak anggota lainnya yang
menyibukan diri di perhelatan lain. Absurd.
Keadaan genting itu makin parah ketika seminggu sebelum
pementasan, Nadine sakit. Kelenjar tiroidnya infeksi dan ia membutuhkan
istirahat total agar sembuh. Keraguan untuk tetap mengadakan pementasan mulai
muncul di beberapa orang dari kami. Untunglah Pire yang perkasa bersedia
menggantikan Nadine dalam memerankan tokoh Estelle. Selama empat hari ia
berusaha mengejar aktor-aktor yang sudah latihan lebih lama. Hasilnya? Bah!
Mendekati sempurna!
Polemik kembali muncul ketika sehari sebelum pementasan,
Auditorium Gedung IX yang seharusnya sudah bisa diakses keesokan paginya, tidak
bisa kami pakai. Kami tidak bisa menggunakannya karena gedung tersebut akan
digunakan oleh BIPA untuk mengadakan gladi resik wisuda mahasiswa mereka.
Banyak sekali orang yang menjadi emosi ketika polemik ini muncul dan tidak
selesai. Untung saja, tim kami sepakat akan tetap memperjuangkan pementasan
bagaimana pun caranya. Banyak sekali pihak dimintai pertolongan, mulai dari
satpam Pusgiwa sampai tataran Kemahasiswaan UI. Maka terjadilah: Produksi
ke-102 Pementasan Pintu Tertutup di
Auditorium Lantai 3 Gedung Baru Pusgiwa UI pada Jumat, 14 Desember 2018, pukul
20.00. Kita dapat melihat bagaimana magisnya kekuatan niat manusia pada waktu
itu.
Kendati banyak sekali yang perlu dievaluasi
pasca-pementasan, terima kasih sedalam-dalamnya saya sampaikan kepada tim
Produksi ke-102 Teater Pagupon, juga kepada banyak individu dan institusi.
Selain itu, untuk 260 pasang mata yang menonton pertunjukan: sampai jumpa di
pertunjukkan berikutnya. Seperti yang sering Mas Yoesoev, guru kami, bilang,
“pementasan adalah sebuah perpisahan; untuk bertemu pada perpisahan
selanjutnya.” Pementasan ini akan menjadi kisah berarti bagi kami,
syukur-syukur menjadi sarana refleksi.
Saya pribadi menganggap cerita dari perpisahan ini sebagai
sebuah gaya hidup, di mana sesuatu yang absurd dan berbau eksistensial saling
terintegrasi, menelusuri relung nurani dan menggetarkan jiwa – guna menyatakan:
mari kita lanjutkan menyambut malam paling sunyi.
Komentar
Posting Komentar