Alur Perjalanan Seorang Tukang Roti Keliling


Ia baru saja turun dari motor, memesan segelas kopi, kemudian duduk di sebelahku. Dagangannya hampir habis. Beberapa roti masih berjejer di etalase yang nangkring di jok belakang motornya. Memang cukup lezat. Apalagi jika memakannya pada sore hari. Aku dan Ibu kadang beli ketika ingin ngemil dan di rumah sedang tidak ada apa-apa.

Ini bukan roti yang biasa dijual di swalayan atau supermarket. Bukan juga roti yang sering memasang iklannya di televisi. Ini roti hasil industri rumahan di kelurahan kami. Banyak terigu dijual murah dari sisa produksi pabrik. Oleh warga, bahan tersebut diolah kembali menjadi roti beraneka rasa yang jadi ciri khas kelurahan kami. Produknya sudah terkenal dari satu kelurahan ke kelurahan lain, bahkan kota lain. Tidak heran jika nama kelurahan kami adalah Kampung Roti.  Ibu bilang, itu berawal dari 30 tahun yang lalu, ketika aku belum lahir. Tidak ada penjelasan lebih lanjut. Kadang ketika memikirkannya aku merasa aneh, kota tempatku tinggal dapat dibilang sudah modern, tapi mengapa ada kelurahan yang namanya diawali dengan kata kampung? Kelurahan tempat tinggalku pula. 

“Di pertigaan tadi, Mata Elang dapat buruan lagi.” Tukang roti itu membuyarkan lamunanku.

Ia melanjutkan cerocosnya. “Kau tahu? Yang tertangkap itu istrinya lagi hamil tua. Angsuran motornya belum lunas. Sampai-sampai bayar kontrakan pun jadi dicicil. Banyak pahitnya memang. Kadang bingung, bisa-bisanya tukang roti dari Kampung Roti sulit buat jual dagangannya, padahal sudah keliling.”

Mata Elang adalah sekelompok orang yang dibayar pemilik modal untuk mengambil dagangan para pedagang roti keliling yang tidak dapat memenuhi target penjualan. Mereka bukan warga Kampung Roti. Badannya besar-besar. Kalau muncul di warung kopi, jarang bicara. Sesekali, aku juga pernah menyaksikan mereka beroperasi. Waktu itu, ada pedagang roti yang tidak mau menyerahkan apa yang dipinta dan kemudian dipukuli oleh mereka. Ada juga yang diberi keringanan. Kadang, ada penjaja roti itu yang ke bank dulu untuk mengambil uang dan kemudian menyerahkannya pada Mata Elang tersebut.

“Mau bagaimana lagi, Bang? Dengan itu kita bisa hidup, ‘kan?” Kataku berusaha menenangkan. 

“Ini lain soal. Masa iya lagi kepepet, dipepet terus?”

“Terus mau gimana? Membuat dia berhenti jualan roti tapi tetap dapet uang, begitu?”

Ia geleng-geleng kepala dan menikmati kopinya. Mengambil sebongkah roti di kreneng warung itu kemudian melahapnya dan asik dengan penganannya sendiri.

Aku cukup mengenali tukang roti ini. Sejak duduk di kelas satu bangku sekolah dasar, aku kerap menikmati dagangannya di rumah maupun di sekolah. Ia baik. Selalu mengajak bercanda dan sungging senyumnya sumringah sekali. Kini, melihatnya cerewet betul, malas juga mengajak ia bicara.

Perbuatan Mata Elang tersebut adalah hal yang lumrah, aku kira. Sebagai warga Kampung Roti yang menjual roti, para tukang roti keliling harusnya dapat memasarkan produknya dengan baik. Menjual roti-roti itu pada semua orang. Aku pun nanti ingin begitu. Setelah mendapat ijazah, aku akan menjadi seorang tukang roti keliling. Hasil kerjaku akan digunakan untuk membeli rumah, menikahi gadis manis dari kelas sebelah yang sudah satu semester mencuri perhatianku, dan mengajak ibu jalan-jalan keluar kota. Setiap hari, sisa roti yang tidak terjual akan aku konsumsi sendiri, bersama keluargaku tentunya. Dengan kopi hangat, seperti saat ini. Itu adalah kehidupan impianku.

“Pakde, semuanya berapa? Aku mau lanjut keliling.” 

Lagi-lagi, tukang roti itu membuyarkan lamunanku.

Jakarta, 22 Januari 2020


Komentar